PERSPEKTIF ETIKA BISNIS
DALAM AJARAN ISLAM DAN BARAT, ETIKA PROFESI

Dosen :
Tantyo Setyowati
Kelas : 4EA32
Nama Anggota :
1. Alfajrul Fuad (10213636)
2. Ika Trisnamia Widiati (13212579)
3. Ilman Satria (13211510)
4. Yulanda Siti Aminah (19213558)
5. Vonny Verawati Gumulio (19213182)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas tentang Perspektif Etika Bisnis
Dalam Ajaran Islam Dan Barat, Etika Profesi.
Tugas ini telah kami susun dengan
maksimal. Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tugas
kami ini.
Akhir kata kami berharap semoga tugas
tentang Perspektif Etika Bisnis Dalam
Ajaran Islam Dan Barat, Etika Profesi ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Bekasi,
3 Oktober 2016
Penyusun
Daftar Isi
Kata
Pengantar................................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................................... 2
1.
Aspek
Etika Berbisnis Dalam Islam................................................................................. 3
1.1 Kesatuan (Tauhid/Unity)................................................................................. 3
1.2 Keseimbangan (Equilibrium/Adil)................................................................... 3
1.3 Kehendak Bebas (Free Will)............................................................................ 3
1.4 Tanggung jawab (Responsibility).................................................................... 4
1.5 Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran............................................................. 4
2.
Teori
Ethical Egoism............................................................................................. ............ 4
3.
Teori
Relativisme............................................................................................................... 4
4.
Konsep
Deontology............................................................................................................ 6
5.
Pengertian
Profesi............................................................................................................... 6
6.
Kode
Etik.......................................................................................................................... 7
6.1 Kode Etik di Tempat Kerja.............................................................................. 7
6.2 Kode Etik Pemasaran...................................................................................... 8
6.3 Kode Etik Akuntasi.........................................................................................
8
6.4 Kode Etik Keuangan....................................................................................... 9
6.5 Kode Etik Teknologi Informasi....................................................................... 9
6.6 Kode Etik Fungsi Lainnya............................................................................... 9
7.
Prinsip
Etika Dan Prinsip.................................................................................................. 10
Sumber...................................................................................................................... 11
Perspektif Etika Bisnis
Dalam Ajaran Islam Dan Barat, Etika Profesi
Islam mengajarkan agar dalam
berbisnis, seorang muslim harus senantiasa berpijak kepada aturan yang ada
dalam agama, utamanya bagaimana pengusaha tidak hanya memikirkan kepentingan
sendiri, namun juga bisa membina hubungan yang harmonis dengan konsumen atau
pelanggan, serta mampu menciptakan suasana saling meridhoi dan tidak ada unsur
eksploitasi. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Al-Qur’an yang memberi
pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha,
tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4:29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan,
seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Bekerja dalam konteks Islam harus
didasari atau berlandaskan kepada iman. Dalam kaitan iman, berbisnis tidak
semata-mata mengejar keuntungan duniawi, melainkan seorang muslim harus
senantiasa ingat bahwa apa pun yang ia kerjakan harus diimbangi dengan komitmen
kecintaan kepada Allah. Dengan demikian, Iman akan membawa usaha yang dilakukan
seorang muslim jauh dari hal-hal yang dilarang dalam hukum jual beli seperti
riba, menipu pembeli, dan sejenisnya.
1. Aspek Etika Berbisnis Dalam Islam
1.1 Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan
sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan
yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,
ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka
etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
1.2 Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk
berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang
yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang
selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis
tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan.
1.3 Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting
dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja
dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus
menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak
dan sedekah.
1.4 Tanggung jawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu
hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip
ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
1.5 Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain
mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur
yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan
sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan.
2. Teori Ethical Egoism
Ethical Egoism menegaskan bahawa kita
tidak harus mengabaikan secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita patut
mempertimbangkannya apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan
kepada diri sendiri. Egoism mengatakan suatu tindakan dikatakan etis
apabila bermanfaat bagi diri sendiri serta mengatakan bahwa kita harus mengejar
sendiri atau mengutamakan kepentingan diri kita.
Ethical Egoism adalah berbeda dengan
prinsip-prinsip moral seperti sentiasa bersikap jujur, amanah dan bercakap
benar. la kerana tindakan tersebut didorong oleh nilai-nilai luhur yang sedia
ada dalam diri manakala dalam konteks ethical egoism pula sesuatu tindakan
adalah didorong oleh kepentingan peribadi. Misalnya, seseorang individu yang
memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank tentang kesilapan pihak
bank bukan atas dasar tanggungjawab tetapi kerana beliau mempunyai kepentingan
diri.
3. Teori Relativisme
Secara umum relativisme berpendapat
bahwa perbedaan manusia budaya, etika moral, agama,
bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di
luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa
yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada
masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti ini dianut
oleh protogas pyrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum spektik.
Relativisme etis berpendapat bahwa
penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang
disebut relativisme etis subjektif atau analitis. Adapun relativisme etis yang
berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan
masyarakat dan disebut relativisme kultural.
a.
Kekuatan
relativisme etis : Kekuatan
relativisme etis subjektif adalah kesadarannya bahwa manusia itu unik dan
berbeda satu sama lain Karena itu, orang hidup menanggapi lika-liku hidup dan
menjatuhkan penilaian etis atas hidup secara berbeda Dengan cara itulah
manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan situasinya Ia dapat menanggapi
hidupnya sejalan dengan data dan fakta yang ada. Ia dapat menetapkan apa yang
baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, menurut pertimbangan dan
pemikirannya sendiri. Demikian manusia tidak hanya berbeda dan unik, tetapi
berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya
b.
Kelemahan
relativisme : Walaupun sangat
menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan , para
penganut relativisme subjektif dapat menjadi khilaf untuk membedakan
antara etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip
etisnya Bila orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan
berarti tidak ada norma etis yang sama Bisa saja norma etis objektif itu
sama, tetapi perwujudannya berbeda karena situasi hidup yang berbeda
Kajian pemikiran relativisme budaya
banyak menyita perhatian berbagai kalangan, baik dari ilmuan, seniman,
politisi, ekonom, ahli hukum, kaum bangsawan, ataupun yang lainnya. Tentu saja,
sesuai hukum produk pemikiran, ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang
mendukung dan memujinya, sekaligus ada yang menolak dan
mencercanya.
Relativisme budaya begitu menarik
perhatian banyak kalangan pemikir, salah satunya, karena pemikiran tersebut
berani menolak kemapanan dan menisbikan budaya yang ketika kemunculannya
sudah establish,terutama pada masyarakat Eropa. Ia menilai tidak ada suatu
komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding
yang lain. Keunggulan suatu budaya sangat relatif, karenanya tidak ada produk
budaya yang mesti dianggap sebagai budaya unggulan, apalagi diyakini memiliki
nilai yang bersifat universal, sehingga setiap orang harus menghargai budaya
yang berbeda dengan budaya leluhurnya atau dengan budaya dari daerah lain yang
berbeda.
Abdala (2008) menyatakan bahwa
relativisme budaya adalah paham bahwa semua budaya baik; tidak ada budaya
yang dianggap superior, sementara yang lain inferior; budaya adalah hasil dari
kesepakatan sosial (social construction). Budaya tidak mengandung esensi
tertentu yang membuatnya “baik” atau “buruk”. Mungkin saja sebuah perilaku
budaya dinilai baik pada suatu komunitas masyarakat tertentu, tetapi sebaliknya
ia dinilai aneh, ganjil, atau bahkan lucu oleh komunitas masyarakat yang lain.
Jadi, kalaupun mungkin ada keunggulan budaya, ia hanya sebatas unggul pada
konteks masyarakatnya, bukan karena dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya.
Dengan demikian, relativisme budaya
menawarkan sebuah pemikiran bahwa sesederhana apapun bentuk atau wujud produk
budaya, ia harus dihargai. Sebab secara substantif tidak ada suatu produk
budaya yang dapat dinilai baik, buruk, lebih baik, atau lebih buruk dibanding
budaya-budaya lainnya.
4. Konsep Deontology
Deontologi berasal dari perkataan
Yunani "deon" yang bermaksud "yang diharuskan atau
diwajibkan". Teori ini menegaskan bahawa betul atau salahnya sesuatu
tindakan itu tidak berdasarkan atau ditentukan oleh akibat-akibat tindakan
tersebut. Deontologi selalu dikaitkan dengan Immanuel Kant, seorang ahli
flasafah German (1724-1804) yang pernah mengajar di University of Konigsberg di
bahagian barat Rusia. Kant percaya bahawa apa yang memberi nilai moral kepada
sesuatu tindakan bukan akibatnya kerana akibat-akibat tindakan kita tidak
sentiasa berada di bawah kawalan kita. Akan tetapi motif (niat) tindakan kita
adalah di bawah kawalan kita dan, oleh itu, kita harus bertanggungjawab secara
moral atas motif kita untuk membuat kebaikan atau keburukan
5. Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan dari
sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess" yang bermakna:
"Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara
tetap/permanen". Profesi juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap
suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya
memiliki asosiasi profesi,kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang
profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik. Ada pun pengertian
Profesi menurut para ahli :
a.
SCHEIN,
E.H (1962) : Profesi adalah suatu
kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus
yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat.
b.
HUGHES,
E.C (1963) : Perofesi menyatakan bahwa ia mengetahui lebih baik dari
kliennya tentang apa yang diderita atau terjadi pada kliennya
c.
DANIEL
BELL (1973) : Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari
termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan
memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung
jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika
layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan
ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan
dalam masyarakat
d.
PAUL
F. COMENISCH (1983) : Profesi adalah "komunitas moral" yang
memiliki cita-cita dan nilai bersama
Dapat disimpulkan Profesi merupakan
suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari
pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau
jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau
jabatan dapat disebut profesi karena profesi menuntut keahlian para
pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang
disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetepi
memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan
khusus untuk itu.
Pekerjaan tidak sama dengan profesi.
Istilah yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah: sebuah profesi sudah
pasti menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi
sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi
sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki
aturan yang rumit seperti itu. Hal inilah yang harus diluruskan di masyarakat,
karena hampir semua orang menganggap bahwa pekerjaan dan profesi adalah sama.
6. Kode Etik
Kode etik adalah merupakan suatu
bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan dapat
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
6.1 Kode Etik di Tempat Kerja
Dalam setiap organisasi bisnis
terdapat lebih dari satu orang pelaku bisnis yang bekerjasama untuk mencapai
tujuan bisnis. Dilihat dari jenjang/tingkatan dan fungsinya suatu organisasi
perusahaan adalah satu kesatuan bersama. Walaupun ada kode etik umum dalam
setiap fungsi dan jenjang jabatan,tetap saja berlaku isu-isu etika yang
bersifat spesifik. Diantara prinsip dan isu etika tersebut adalah :
·
Kode
Etik Sumber Daya Manusia (Human Resource)
Karyawan merupakan salah satu
kelompok pemangku kepentingan utama di perusahaan (main stakeholder) yang
dibawahi oleh departemen SDM. 4 peran yang melekat pada departemen SDM menurut
A.M Lilik Agung (2007) :
-
Peran
Administratif : Peran awal/tradisional
dimana departemen SDM hanya berperan dalam perekrutan karyawan dan pemeliharaan
catatan gaji,upah,serta data karyawan.
-
Peran
Kontribusi : Peran yang
menekankan pada peningkatan produktifitas,loyalitas, dan lingkungan kerja
karyawan.
-
Peran
Agen Perubahan : Peran suatu
departemen SDM sebagai agen perubahan.
-
Peran
Mitra Strategis : Peran yang
bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan bisnis dan individu karyawan dengan
melibatkan departemen SDM dalam merumuskan berbagai kebijakan bisnis yang bersifat
strategis.
Mengingat makin pentingnya aspek sikap dan perilaku, maka
perusahaan tidak cukup hanya menghasilkan pedoman kode etik saja,namun juga
bagaimana kode etik ini dapat dipahami,disadari pentingnya dan dijalankan. Agar suatu kode etik dapat
dipenuhi,terdapat 6 dimensi kode etik (menurut weaver,trevino, dan
cochran),diantaranya :
·
Kode
etik formal : Kode
etik yang dirumuskan atau ditetapkan secara resmi oleh suatu
asosiasi,organisasi profesi,lembaga/ entitas tertentu.
·
Komite
Etika : Entitas
yang mengembangkan kebijakan, mengevaluasi tindakan, menginvestigasi, dan
menghakimi pelanggaran-pelanggaran etika.
·
Sistem
Komunikasi Etika : Media / cara
untuk menyosialisasikan kode etik dan perubahannya.
·
Pejabat
Etika : Pihak
yang mengkoordinasikan kebijakan,memberikan pendidikan,dan menyelidiki tuduhan
adanya pelanggaran etika.
·
Program
Pelatihan Etika : Program yang
bertujuan meningkatkan kesadaran dan membantu karayawan dalam merespon
masalah-masalah etika.
·
Proses
Penetapan Disiplin
Dalam hal terjadi perilaku tidak
etis.
Hak –hak
karyawan yang harus diperhatikan (menurut Sonny Keraf) :
·
Hak
atas pekerjaan yang layak
·
Hak
atas upah yang adil
·
Hak
untuk berserikat dan berkumpul
·
Hak
atas perlindungan keamanan dan kesehatan
·
Hak
untuk diproses hukum secara sah
·
Hak
untuk diperlakukan secara sama
·
Hak
atas rahasia pribadi
·
Hak
atas kebebasan suara hati.
6.2 Kode Etik Pemasaran
Pelaku pemasaaran harus bertanggung
jawab atas konsekuensi aktivitas merek dan selalu berusaha agar keputusan,
rekomendasi, dan fungsi tindakan mereka mengidentifikasi melayani dan memuaskan
masyarakat yang relevan: para pelanggan, organisasi dan masyarakat Pelaku
pemasaran harus menjaga dan mengembangkan integritas, kehormatan dan martabat
profesi pemasaran dan harus menyadari betapa perilakunya memengaruhi perilaku
orang-orang lain dalam hubungan organisasi. Mereka seharusnya tidak menimbulkan
, mendorong atau menerapkan kekerasan untuk menimbulkan perilakuu tidak etis
dalam hubungannya dengan orang lain.
6.3 Kode Etik Akuntasi
Tugas utama akuntan manajemen adalah merancang dan memelihara
sistem informasi agar departement akuntansi mampu menghasilkan dua jenis
laporan akuntasi yaitu:
·
Laporan
keuangan (financial statements) sebagai alat pertanggungjawaban manajemen
kepada pihak-pihak di luar manajemen.
·
Laporan
manajemen untuk kepentingan manajemen dalam rangka melaksankan fngsi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan proses keputuan manajemen
Akuntan manajemen harus menguasai
ilmu akuntansi dan disiplin lain yang relevan, mempunyaiketerampilan dalam
mengolah data dengan teknologi informasi, serta harus mempunyai integritas yang
tinggi. Dengan demikian pekerjaan di bidang akuntansi juga disebut suatu
profesi karena memerlukan pengetahuan akuntasi dari pendidikan formal serta
memerlukan keterampilan dalam mengolah data.
6.4 Kode Etik Keuangan
Fungsi akuntansi dan keuangan dalam
suatu perusahaan mempunyai keterkaitan kerja yang sangat erat bahkan dalam hal
tertentu sering kali kedua fungsi tersebut bersifat tumpang tindih. Fungsi
pokok akuntansi antar lain menghasilakan laporan keuangan (neraca, laporan
laba/rugi, laporan perubahan ekuitas dan laporan arus kas) sedangkan fungsi
keuangan adalah mengelola arus kas (kas masuk dan kas keluar) temasuk
menetapkan struktur permodalan dan mencari sumber-sumber dan jenis pembiayaan
baik untuk membiayai kegiatan operasi maupun untuk rencana investasi. Dalam
mengelola arus kas fungsi keuangan akan banyak memanfaatkan laporan keuangan
yang di buat oleh fungsi akuntansi dan fungsi akuntasi akan banyak memberikan
laporan realisasi yang berhubungan dengan arus uang masuk dan uang keluar
secara periodik.
6.5 Kode Etik Teknologi Informasi
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi serta komunikasi telah mendongkrak kegiatan bisnis yang
terkait dengan sistem informasi dan komunikasi untuk tumbuh dan berkembang
dengan pesat.Komputer saat ini bukan lagi menjadi tergolong barang mewah
(lux).Kemajuan teknologi perangkat keras ini juga di ikuti oleh perkembangan
perangkat lunak komputer (software),khususnya berbagai perangkat lunak aplikasi
yang meluas pada hampir seluruh fungsi
bisnis, seperti:
·
Akuntansi
·
Keuangan
·
Produksi
·
Perpajakan
·
Kepegawaian
·
Pemasaran
·
Kesekretariatan
6.6 Kode Etik Fungsi Lainnya
Ciri pokok suatu sistem adalah bahwa
setiap elemen didalam perusahaan akan berinteraksi satu dengan lainnya yang
akan memengaruhi perusahaan secara keseluruhan,sekecil apapun peran yang
dimainkan olehsetiap elemen tersebut.Oleh karena itu,semua karyawan pada semua
fungsi di suatu perusahaan harus selalu bersikap profesional,yaitu: menguasai
bidang ilmu dan ketrampilan teknis pada bidangnya,serta harus mempunyai sikap
dan perilaku etis.Ketaatan dalam mematuhi kode etik yang telah ditetapkan oleh
perusahaan akan menentukan kualitas SDM di dalam perusahaan.
7. Prinsip Etika Dan Prinsip
Tuntutan profesional sangat erat
hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu
berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di
sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku
untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal
sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi
semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
a.
Prinsip
Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah satu prinsip
pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya
berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
b.
Prinsip
Keadilan
Prinsip ini menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya.
Sehingga orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan
juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan
itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya
karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai.
c.
Prinsip
Otonomi
Pada prinsip yang dituntut oleh
kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi
dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil
dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan
dalam pelaksanaan profesi tersebut. Ini terutama ditujukan kepada pihak
pemerintah. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara
bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu
yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat
luas. Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip
otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan
moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan
masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung
jawab profesional.
d. Prinsip Integritas Moral
Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri
profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang
yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai
komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga
kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini
merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam
menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta
citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri
untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang
dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak
akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau
melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya
Sumber