Manusia
dan Harapan
A. PENGERTIAN
HARAPAN.
Setiap manusia mempunyai harapan yang
berbeda-beda. Manusia tanpa adanya harapan berarti manusia itu mati dalam
hidup. Orang yang meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa
pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan,
pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau
tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan itu
sendiri. Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu
terjadi, sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan
demikian harapan menyangkut masa depan kita.
B. HARAPAN DAN
CITA-CITA
Harapan hampir mirip dengan cita-cita,
hanya saja biasanya cita-cita itu adalah sesuatu yang diinginkan
setinggi-tingginya, sedangkan harapan itu tidak terlalu muluk. Meskipun
demikian, harapan dan cita-cita memiliki kesamaan, yaitu :
1. Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud.
2. Pada umumnya baik cita-cita maupun harapan adalah menginginkan
hal yang lebih baik atau lebih meningkat.
C. SEBAB-SEBAB
MANUSIA MEMPUNYAI HARAPAN
Ada 2 hal yang menyebabkan seseorang memiliki harapan, yaitu :
1.
Dorongan
Kodrat
Kodrat adalah sifat, keadaan atau
pembawaan alamiah yang sudah terwujud dalam diri manusia sejak manusia itu
diciptakan oleh Tuhan. Dorongan kodrat menyebabkan manusia mempunyai keinginan
atau harapan, misalnya menangis, tertawa, sedih, dan bahagia. Dalam diri
manusia masing-masing sudah terjelma sifat, kodrat pembawaan dan kemampuan
untuk hidup bergaul, hidup bermasyarakat, dan hidup bersama dengan manusia
lain. Dengan kodrat inilah, manusia memiliki harapan.
2.
Dorongan
Kebutuhan Hidup
Manusia memiliki kebutuhan hidup,
umumnya adalah kebutuhan jasmani dan rohani. Untuk memenuhi kebutuhan itu
manusia harus bekerja sama dengan manusia lain. Hal ini disebabkan karena
kemampuan manusia sangat terbatas baik kemampuan fisik maupun kemampuan
berpikirnya.
Menurut Abraham Maslow, sesuai
dengan kodratnya, harapan atau kebutuhan manusia itu adalah :
·
Kelangsungan
hidup (survival).
·
Keamaanan
(safety).
·
Hak
dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai (be loving and loved).
·
Diakui lingkungan (status).
·
Perwujudan cita-cita (self-actualization).
Dengan adanya dorongan kodrat dan
dorongan kebutuhan hidup maka manusia mempunyai harapan. Karena pada hakekatnya
harapan itu adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
D. PENGERTIAN
KEPERCAYAAN
Kepercayaan berasal dari kata percaya,
artinya mengakui atau meyakini akan kebenaran. Kepercayaan adalah hal-hal yang
berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran.
Ada jenis pengetahuan yang dimiliki seseorang, bukan karena hasil
penyelidikan sendiri, melainkan karena diterima orang lain. Kebenaran
pengetahuan yang didasarkan atas orang lain itu disebabkan karena orang itu
dipercaya. Dalam agama terdapat kebenaran-kebenaran yang dianggap diwahyukan
artinya diberikan Tuhan, baik langsung atau tidak langsung kepada manusia.
Dasar kepercayaan adalah kebenaran.
Sumber kebenaran adalah manusia. Kepercayaan itu dapat dibedakan atas :
·
Kepercayaan
Pada Diri Sendiri
Kepercayaan kepada diri sendiri itu
ditanamkan setiap pribadi manusia. Percaya kepada diri sendiri pada hakekatnya
adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·
Kepercayaan
Kepada Orang Lain
Kepercayaan kepada orang lain itu
sudah tentu percaya kepada terhadap kata hatinya, atau terhadap kebenarannya.
Karena ada ucapan yang berbunyi ” orang dipercaya karena ucapannya”.
·
Kepercayaan
Kepada Pemerintah
Pandangan demokratis mengatakan bahwa
kedaulatan adalah dari rakyat, dan milik rakyat. Rakyat adalah negara dan
rakyat itu menjelma pada negara. Seseorang mempunyai arti hanya dalam
masyarakat, dan negara. Hanya negara sebagai keutuhan (totalitas) yang ada,
sehingga kedaulatan mutlak pada negara. Satu-satunya yang mempunyai hak adalah
negara. Manusia perseorangan tidak mempunyai hak, tetapi hanya kewajiban.Karena
itu jelaslah bagi kita, baik teori maupun pandangan teokratis atau demokratis
negara pemerintah itu benar, karena Tuhan adalah sumber kebenaran. Sehingga
wajar jika manusia sebagai warga negara percaya kepada negara dan pemerintah.
·
Kepercayaan
Kepada Tuhan
Kepada Tuhan yang maha kuasa itu amat
penting, karena keberadaan manusia itu bukan dengan sendirinya, tetapi
diciptakan oleh Tuhan. Kepercayaan itu amat penting karena merupakan tali kuat
yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Kepercayaan berarti keyakinan
dan pengakuan akan kebenaran adanya Tuhan. Oleh karena itu, jika manusia ingin
memohon pertolongan kepadaNya, maka manusia harus percaya kepada Tuhan.
E. KEBENARAN
Kebenaran sangat penting bagi manusia, karena memiliki arti khusus
bagi hidupnya. Kebenaran merupakan fokus dari segala pikiran, sikap dan
perasaan.
Menurut Dr. Yuyun Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat
Ilmu” sebuah pengantar populer, ada 3 teori kebenaran, yaitu :
1. Teori Koherensi atau Konsistensi : Yaitu suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan tersebut bersifat koherensi atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
2. Teori Korespondensi : Yaitu suatu teori yang menjalankan
bahwa suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
itu berkoresponden (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.
3. Teori Pragmatis : Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.
STUDI KASUS :
Manusia
mempunyai harapan dan kepercayaan masing-masing. Dengan adanya harapan manusia
jadi mempunyai suatu arti hidup di dunia ini. Harapan setiap manusia pasti
ingin menjadi sukses dan hidup bahagia. Untuk menjadi sukses n hidup bahagia
setiap manusia mempunyai jalan yg berbeda untuk mencapai nya ada yg dengan
jalan lurus dan juga ada yang dengan melalui jalan berbelok-belok. Hidup ini
tak selama nya lurus seperti apa yang kita harapkan, ada saja liku-liku dalam
kehidupan. Satu hal lagi, apabila kita mau mewujudkan harapan itu dengan
kenyataan nya kita harus mempunyai rasa suatu kepercayaan di dalam hati kita
karena itu salah satu dasar untuk kita mencapai sukses.
Manusia, Hidup dan Kematian
Pengertian Hidup Menrut Al-Quran
Masa hidup manusia terbagi dua (QS 40/11), hidup pertama adalah di
dunia kini dan hidup kedua berlaku di akhirat. Kedua macam hidup berlaku dalam
keadaan konkrit.
Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup
telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup.
Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia
secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.
Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak
dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan
dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan
alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri
disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.
Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup
mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua
sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung
zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan
terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.
Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah
terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta
dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan
keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang
ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai
maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh
makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan
menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua
macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam
pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa
berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut
rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing
berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Allah itu
Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)
DIA pelaksana
bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)
Dan tidaklah AKU
ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya).
QS 51/96.
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah
menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan
hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat
sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji
kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan
Pengampun. (QS 67/2)
Bahwa Kami
menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur
atau kafir. (QS 76/3)
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu
tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin
yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam
akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk
selamanya.
Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para
muttaqien. (QS 3/133)
Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik.
Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali
orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga.
QS 95/4-6)
Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja
menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta
tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.
Keterangan Al
Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab
suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.
Pengertian Mati
beserta Menurut Al-Quran
Pengertian hidup menurut bahasa Arab adalah kebalikan dari mati
(naqiidlul maut). Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran,
kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan
makanan.
Sedang pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebalikan dari
hidup (naqiidlul hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan :
“Mati adalah kebalikan dari hidup.”
Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka
tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan,
yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan,
gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan
makanan.
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan
mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah
SWT Sang Pencipta. Allah SWT berfirman :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat jiwa dan
ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan
serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah SWT selaku pencipta keduanya,
termasuk dalam perkara ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang
dapat diamati hanyalah pengaruh-pengaruh fenomena tersebut dalam tubuh fisik
manusia, berupa tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa
berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan
tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan
terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan.
Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut, akan
diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas.
Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah SAW :
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan
berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi objek
penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati dan telah berhenti
kehidupannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya.
Namun kini mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini
mengatakan bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya
manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap hidup.
Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghentian jantung.
Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan kematian
seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah matinya batang otak (brain
stem). Batang otak adalah semacam tangkai pada otak yang berbentuk penyangga
atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebelah
bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat
jaringan syaraf yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang
menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi
membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang
dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.
Ada beberapa peristiwa yang membingungkan para dokter. Pernah
tercatat ada otak yang sudah tak berfungsi, tetapi organ-organ tubuh lainnya
masih berfungsi. Telah diberitakan ada seorang wanita Finlandia yang dapat
melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua
setengah bulan. Wanita tersebut koma karena benturan yang mengakibatkan gegar
otak. Tapi anehnya, wanita itu baru meninggal dua hari setelah dia melahirkan
bayinya. Dalam keadaan komanya, dia bernapas dengan alat pernapasan, diberi
makan lewat tabung, dan diganti darahnya setiap minggu selama 10 minggu. Bayi
yang dilahirkannya dalam keadaan sehat dan normal.
Demikian pendapat para dokter. Adapun para fuqaha, mereka tidak
memutuskan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya
kematian pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan
bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut terbuka, mata
terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang,
dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas.
Jika muncul keraguan (syak) akan kematian seseorang, misalnya jika
jantungnya berhenti berdetak, atau pingsan, atau dalam keadaan koma total
karena sesuatu sebab, maka dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan
kematiannya. Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kematian atau
adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi dugaan
kuat kami, ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah ada
keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kematian
sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya batang
otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya kehidupannya secara medis,
tidaklah sesuai dengan hukum syara’. Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh
organ tubuh yang vital –seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi
indikator kematian seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator,
adalah bila seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan
hilangnya seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ
tersebut.
Terhadap orang yang batang otaknya telah mati, dengan sebagian
organ tubuh vitalnya yang masih berfungsi –yang menurut para dokter telah dianggap
mati menurut ilmu kedokteran– begitu pula seseorang yang ada dalam sakaratul
maut –yang disebut para fuqaha, telah sampai pada keadaan “gerakan binatang
yang disembelih”/harakatul madzbuh– yang tidak mampu lagi untuk melihat,
berbicara, bergerak dengan sadar, serta sudah tidak mungkin lagi melanjutkan
kehidupannya, maka dalam hal ini ada beberapa hukum syara’ yang berlaku
padanya. Hukum yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Orang tersebut tidak boleh mewarisi
harta orang lain, dan tidak boleh pula mewariskan harta kepada orang lain,
sementara dia masih dalam keadaan tersebut.
Bahwa dia tidak mewarisi
harta orang lain, karena dia telah kehilangan kehidupannya yang tetap, yang
ditandai dengan adanya kesadaran, gerakan, dan kehendak. Sedang syarat untuk
ahli waris supaya dapat menerima harta warisan, ialah bahwa dalam jiwanya harus
terdapat kehidupan yang tetap. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini harta
warisan tidak dibagi sampai orang tersebut diyakini telah mati.
Maka dari itu, janin tidak dapat mewarisi kecuali jika dia telah
lahir dan mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan yang tetap
padanya, seperti adanya tangisan saat bayi lahir, atau dia telah menguap.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Al Musawwir bin Makhramah RA, dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun bahwa dia tidak dapat mewariskan, dan juga harta warisannya
tidak boleh dibagi jika dia dalam keadaan seperti ini, karena syarat pemindahan
kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya, ialah adanya keyakinan
akan kematian pewaris. Orang yang batang otaknya telah mati, sementara sebagian
organ vitalnya masih berfungsi, atau orang yang berada dalam sakaratul maut dan
sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), sebenarnya
masih mempunyai sebagian tanda kehidupan. Kematiannya belum dapat diyakini.
Karenanya, harta warisannya tidak boleh dibagikan, kecuali setelah adanya keyakinan
akan kematiannya.
2. Tindakan Kriminal Terhadapnya :
(a). Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atas orang lain,
lalu memotong batang otak orang tersebut, atau membuatnya berada dalam
sakaratul maut, dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul
madzbuh), serta bisa dipastikan bahwa dia akan mati dan tak akan pernah hidup
lagi, kemudian datang orang kedua yang melanjutkan tindakan kriminal itu, maka
yang dianggap pembunuh adalah orang pertama tadi. Sebab, dialah yang telah
membuat korban menjadi tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya. Karena itu,
orang pertama itulah yang diqishash dan dihukum mati karena telah membunuh
korban. Adapun orang kedua, dia tidak dianggap sebagai pembunuh. Dia tidak
diqishash, dan tidak dihukum mati karena membunuh korban, tetapi dikenai sanksi
berupa ta’zir, sebab dia telah melakukan pelanggaran terhadap kehormatan orang
lain.
Tapi kalau orang pertama tadi tidak membuat korban sampai pada
“gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta hanya melukainya
sampai luka berat, sementara pada diri korban masih ada kehidupan yang tetap
–ditandai dengan adanya kesadaran, penginderaan, gerakan sadar– lalu datang
orang kedua dan membunuhnya, maka dalam hal ini orang kedualah yang dianggap
sebagai pembunuh. Dia wajib diqishash dan dihukum mati karena membunuh orang
tersebut. Adapun orang pertama, tidak dianggap pembunuh. Dia dikenai sanksi
karena melanggar kehormatan orang lain. Dia wajib membayar diyat sesuai organ
tubuh yang dirusak dari organ korban yang dianiaya
.
(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya.
Hal ini seperti yang pernah terjadi pada masa
shahabat –radliyallahu ‘anhum– yaitu peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar dan
Umar. Para shahabat tidak membai’at Umar, kecuali setelah mereka yakin akan
kematian Abu Bakar. Begitu pula para Ahlusy Syura (enam orang shahabat yang
ditunjuk Umar untuk bermusyawarah memilih khalifah) tidak melakukan pemilihan
khalifah kecuali setelah mereka yakin akan kematian Umar. Adapun bila khalifah
dalam keadaan sakaratul maut, atau sampai pada “gerakan binatang yang
disembelih” (harakatul madzbuh), maka dia berhak –jika umat memintanya– untuk
menunjuk penggantinya, dan dia mampu untuk melakukan penunjukan pengganti. Ini
seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar dan Umar dahulu tatkala mereka menunjuk
penggantinya masing-masing(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya.
sumber: http://triicecsfabregas.blogspot.com/2012/01/manusia-dan-harapan.html
No comments:
Post a Comment